Selasa, 26 Mei 2009

ELEMEN-ELEMEN KRITIS DALAM KONSEP PENDIDIKAN PAULO FREIRE

PENDAHULUAN


Berbicara pendidikan saat ini berarti berbicara tentang segudang permasalahan yang tak kunjung usai. Problem pendidikan yang sangat krusial diperbincangkan hingga dewasa ini adalah problem di manakah sebenarnya posisi ideal peserta didik dalam proses pendidikan, apakah sebagai subjek ataukah objek. Pertanyaan ini terkait erat dengan pertentangan antara Positivisme ilmu pengetahuan yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang positif, tetap, dan pasti. Karenanya, bagi kaum positivis mendidik berarti proses mentransfer pengetahuan dari pihak yang tahu kepada pihak yang bodoh. Di pihak lain, kelompok kritis menyatakan bahwa pendidikan bukanlah proses satu arah, dari guru kepada murid. Menurut kelompok ini, peserta didik harus dipandang sebagai subjek yang bebas.

Adalah Paulo Freire tokoh pendidikan Kritis asal Brazil yang memiliki pandangan yang lebih menekankan peserta didik sebagai subjek yang bebas. Gagasan-gagasan Freire yang berciri kritis telah banyak mempengaruhi pikiran ahli pendidikan yang selama ini tidak puas dengan proses pendidikan yang telah berjalan. Dalam banyak hal, kritik pendidikan yang diajukan oleh bebarapa pakar terutama terhadap kebijakan pendidikan pemerintah harus diakui terinspirasi dari konsep pendidikan Freire. Hal ini karena konsep pendidikan Freire dianggap mempunyai daya pendobrak yang kuat terhadap untuk mematahkan argumen pendidikan positivistik yang dinilai lebih cenderung top down dan memposisikan peserta didik sebagai pihak kedua yang bisa diindoktrinasi. Berikut adalah ulasan lebih jauh tentang konsep pendidikan yang diajukan oleh Paulo Freire.


SEKILAS TENTANG PAULO FREIRE

Freire lahir 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Timur laut Brazil. Bapak ibunya bernama Themistocles Freire dan Edeltrus Neves. Sejak kecil ia diajari orang tuanya untuk menghargai dialog dan pendapat orang lain. Dari sini Freire belajar menganalisis setiap konsep yang didapatnya. Ketika berumur sepuluh tahun, keluarganya pindah ke Jabatao dan di kota inilah ayahnya meninggal. Freire harus bergelut dengan masa transisi dan keterbatasan finansial. Situasi ini membuatnya jatuh bangun menjalani studi. Akhirnya dia dapat menyelesaikan sekolah menengahnya. Lalu dia diterima di fakultas hukum di Universitas di Recife. Di samping kuliah hukum, dia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa.

Pada tahun 1944, Freire menikah dengan Elza Maia Costa Olivera dari Recife, seorang guru sekolah dasar yang kemudian menjadi kepala sekolah. Dari pernikahan itu Elza melahirkan tiga orang putri dan dua orang putra (Collins, 2002). Ketertarikan Freire dalam teori-teori pendidikan mulai tumbuh, dan menuntunnya untuk lebih banyak menelaah bacaan tentang pendidikan, filsafat, dan sosiologi daripada hukum yang selama ini sebagai sarana penghasilannya. Freire memberikan pendidikannya lewat seminar, pengarahan, kursus-kursus dan pengajaran dalam mata kuliah sejarah, filsafat pendidikan, dan lain-lain, di University of Recife, dan ia memperoleh gelar doktor pada tahun 1959.

Sejak Juni 1963 sampai Maret 1964, tim pemberantasan buta huruf Freire telah bekerja ke seluruh pelosok negeri. Mereka berhasil menarik minat masyarakat yang buta huruf untuk belajar baca tulis. Rahasia kesuksesan itu ada pada Freire dan timnya yang mempresentasikan partisipasi dan emansipasi dalam proses politik ke arah pengetahuan membaca dan menulis sebagai goal (tujuan) yang ingin dicapai untuk seluruh masyarakat Brazil. Usaha Freire dan timnya tidak hanya mengartikan bunyi dari huruf-huruf mati, tetapi juga sebagai proses penyadaran dari situasi ketertindasannya. Dengan demikian pembelajaran baca tulis alfabetisasi merupakan langkah awal yang penting dalam usaha konseintisasi (penyadaran) terutama bagi orang dewasa. Penyadaran yang dilakukan Freire dan timnya dilakukan dengan menampilkan problematisasi secara rutin akan eksistensi mereka. Dengan begitu, di samping mereka melek huruf, juga melek politik.

Menjelang akhir dasawarsa 60-an, Freire menerima undangan dari universitas Harvard. Kemudian Freire meninggalkan Amerika Latin menuju Amerika Serikat, di sana ia menjadi guru besar tamu di Harvard’s Center for Studies in Education and Development, dan juga menjadi anggota kehormatan di Center for the Study of Development and Social Change. Di awal 1970-an Freire meninggalkan Harvard University. Pada 1979, Freire diundang pemerintah Brazil untuk kembali dari pembuangan dan mengajar di University of Sao Paulo. Pada 1988 ia diangkat menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paolo. Tahun 1992, Freire merayakan ulang tahunnya ke 70 bersama dengan dua ratus lebih rekan pendidik, pembaru pendidikan, sarjana, dan para aktivis grass root. Acara tersebut diisi dengan workshop dan pesta selama tiga hari yang disponsori oleh New School for Social Research, hal itu menandakan betapa besar prestasi serta keberhasilan hidup dan karya Freire. Pada 2 Mei 1997 Freire mengalami serangan jantung dan akhirnya meninggal dunia dalam usia 75 di Rio de Janeiro (Collins, 2002).


PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN PAULO FREIRE

1. Pendidikan Yang Membebaskan

Tema yang tidak bisa dilepaskan ketika berbicara tentang konsep pendidikan Pauo Freire adalah gagasannya tentang pendidikan yang membebaskan. Dengan istilah lain dia sering menyebutnya dengan ketidak-sadaran historis (historical anesthesia) yang berarti keadaan masyarakat yang tidak mau tahu apa yang terjadi dalam masyarakatnya, tidak ikut mempertimbangkan kegiatan dan partisispasinya dalam kancah perubahan sosial. Dalam banyak kesempatan Freire mengatakan bahwa pendidikan merupakan nilai yang paling vital bagi proses pembebasan manusia. Baginya pendidikan menjadi jalur permanen pembebasan, dan berada dalam dua tahap. Pertama, pendidikan menjadikan orang sadar akan penindasan yang menimpa mereka dan melalui gerakan praktis mengubah keadaan itu. Kedua, pendidikan merupakan proses permanen aksi budaya pembebasan.

Dalam Education as the Practice of Freedom in Education for Critical Conciousness, Freire (1973) mengatakan bahwa pendidikan pada tataran ini harus menjadi proses pemerdekaan (humanisasi), bukan penjinakan (domestifikasi) sosial sebagaimana yang sering terjadi dalam dunia ketiga (seperti Brazil), yakni pendidikan sering dijadikan alat untuk melegitimasikan kehendak penguasa terhadap rakyat yang tidak berkuasa. Untuk itu pendidikan harus menjadi aksi dan refleksi secara menyeluruh untuk mengubah realitas yang menindas menuju pembebasan.

Dalam beberapa tulisannya yang lain, Freire memberikan gambaran tentang upaya pembebasan dari berbagai masalah. Masalah tidak hanya pada soal pendidikan, tetapi juga ekonomi, politik, hukum, atau kebudayaan sehari-hari. Untuk itu integrasi realitas sosial ke dalam pendidikan merupakan salah satu upaya dalam membebaskan diri dari permasalahan sosial. Pola hadap masalah (kontekstual) menurut Freire dapat terjadi kapan dan di mana saja selagi manusia masih hidup. Karena itulah, konsep pendidikan Freire sangat menekankan kesadaran diri sebagai subjek. Sebab, dalam pemikirannya, hanya subjeklah yang dapat memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial,yang dibangun berdasarkan relasi intersubjekti, rakyat diharapkan mampu memikirkan pemecahan masalah yang dihadapinya (Mintara, 2001).

Harus disadari bahwa daya penindasan itu terjadi secara luas dan mendalam. Bahkan dalam banyak hal yang kelihatannya paling netral dalam pendidikan, yakni dalam belajar membaca dan menulis, penindasan itu telah terjadi. Di sana peserta didik sudah ditekan dan peralat sedemikian rupa seperti seorang budak yang diperalat oleh kekuasaan tuannya untuk menggarap apa yang diinginkannya. Jadi, yang terjadi bukanlah hubungan belajar mengajar, tetapi pemaksaan dunia mereka yang berkuasa terhadap mereka yang tak berkuasa. Jelas proses belajar mengajar semacam ini tidak tidak mau telah memblokir manusia untuk menjadi manusia.


2. Pendidikan Kaum Tertindas

Pada awal 1960-an Brazil mengalami masa-masa sulit. Gerakan-gerakan reformasi (baik dari kalangan sosialis, komunis, pelajar, buruh, maupun militan Kristen) mendesakkan tujuan sosial politik mereka masing-masing. Waktu itu, Freire menjadi direktur utama Pusat Pengembangan sosial Universitas Recife. Kemudian ia membawa program pemberantasan buta huruf kepada ribuan petani miskin di Timur laut tempatnya bekerja. Gebrakan yang dilakukan Freire ternyata mendapat sambutan dari golongan kaum minoritas/tertindas. Kedatangan program Freire tersebut menjadi salah satu harapan baru bagi mereka, karena hak untuk memberikan suara seseorang saat itu tergantung pada kemampuan baca tulis.

Freire dalam hal ini telah menarik perhatian kaum miskin untuk membangkitkan harapan mereka. Mereka mulai berani mengungkapkan keputusan-keputusan sendiri tentang hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Pendidikan kaum tertindas bagi Freire bukan hanya sekedar teori murni yang lepas dari praktek sosial, melainkan tindakan yang menuntut komitmen yang diimplementasikan dalam seluruh kehidupannya. Pendidikan kaum tertindas bukanlah sekedar teori atau filsafat yang kering, tetapi lebih dari itu mencoba memberikan asas-asas atau jawaban yang jitu untuk menangani masalah-masalah sosial.

Freire melontarkan wacana pembebasan yang didasarkan pada keyakinan transformasi politik dan individu. Ia menekankan bahwa struktur, sistem, atau lembaga penindasan harus ditolak. Freire menggambarkan penindasan sebagai kondisi di mana A secara objektif mengeksploitasi B atau merintangi usahanya untuk menegaskan diri sebagai seorang yang bertanggung jawab. Bagi Freire, penderitaan orang miskin tidak bersifat kebetulan seja, tetapi sebagai akibat penindasan dari struktur yang tidak adil. Pikiran Freire bertitik tolak dari analisis Karl Marx tentang pertentangan kelas (class strunggle), juga dari teologi pembebesan yang berasumsi bahwa kita seharusnya berpihak pada orang miskin (Adeney – Risakotta, 2001).

Dehumanisasi, menurut Freire, meskipun merupakan fakta sejarah yang konkret, bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi akibat dari tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari tangan-tangan para penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas (Freire, 1968). Freire percaya bahwa sebuah tatanan masyarkat yang adil, sistem norma, prosedur, kekuasaan dan hukum memaksa individu-individu untuk percaya bahwa kemiskinan dan ketidakadilan adalah fakta yang tidak terelakkan dalam kehidupan manusia; bahwa tatanan yang tidak adil ini telah meletakkan kekuasaan di tengah segelintir orang dan menempatkan mitos-mitos di benak semua orang.

Freire mengingatkan bahwa status, kekuasaan, dan dominasi dari penindas mustahil ada tanpa adanya eksistensi kaum tertindas. Antara penindas dan tertindas merupakan manifestasi dari perilaku dehumanisasi (Smith, 2001). Penindas didehumanisasikan oleh tindakan penindasan yang –bisa jadi- akan menghancurkan dirinya sendiri, sedangkan si tertindas didehumanisasikan oleh realitas penindasan yang mereka alami. Pendidikan juga harus mempu menyadarkan bahwa pemaksaan dan dan penindasan itu tidak hanya mengenai hal fisik, tetapi merasuk sampak ke kedalaman psyche dan kesadaran manusia. Justru di kekedalaman itulah diri manusia paling disetir dan diperalat oleh kekuasaan para penindas yang sebelumnya tidak disadarinya. Dan tugas pendidikan yang terutama adalah memebebaskan diri dari penindasarn yang tak disadarinya itu.


3. Pendidikan Konsientisasi

Istilah penting yang diajukan Freire dalam Pedagogy of The Oppressed untuk mengajukan teorinya adalah penyadaran (conscientizacao) atau yang sering kita sebut "konsientasi". Konsientasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang sedang dialami siswa atau murid. Meskipun wilayah terakhir yang ingin dituju adalah perubahan sistemik, namun pendidikan Freire bertujuan untuk pembebasan dan pemanusiaan (humanisasi). Dalam rangka itulah Freire melihat bahwa ‘penyadaran’ (Konsientisasi) sebagai inti dari pendidikannya. Pendidikan harus bertujuan menyadarkan peserta didik akan realitas sosialnya (Smith, 2001).

Freire (1979) membagi kesadaran manusia menjadi kesadaran magis, naif, dan kritis. Pertama, kesadaran magis (magical consciousness) adalah kesadaran mesyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran ini lebih melihat pada faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dari ketidakberdayaannya. Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis terhadap keterkaitan antara sistem yang ada dengan permasalahan masyarakat.

Kedua, kesadaran naif (naival consciousness) yang lebih melihat aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreativitas, need for achievment dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, mereka menganggap hal itu karena salah mereka sendiri. Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang diharapkan sebagai pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur dianggap sudah baik dan benar dan merupakan faktor given, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Tugas pendidikan adalah bagaimana mengarahkan siswa agar bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah ada.

Ketiga, kesadaran kritis (critical cinsciousness) yang lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendidikan mencoba menganalisis secara kritis sistem dan struktur sosial, politik, ekonomi, budaya, dan konteks masyarakat lainnya. Paradigma kritis dalam pendidikan adalah melatih siswa agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian menganalisis bagaimana sistem itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma ini adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar siswa terlibat aktif dalam proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

Menurut Freire, Kesadaran merupakan cara memahami satu kesatuan dialektis, dimana seseorang menemukan hubungan antara sujektivitas dan objektivitas. Kemudian seseorang harus mempertimbangkan peran kesadaran manusia sebagai makhluk yang sadar dalam proses perubahan (Freire, 1979). Proses dialektis kritis dalam hal ini mengandung pengertian dialog antara dua pendirian yang bertentangan atau merupakan perkembangan pikir dengan memakai pertemuan (interplay) antaride (Titus, 1984).

Untuk memperkuat argumentasinya akan pentingnya pendidikan sebagai penyadaran, Freire membangun pandangan filosofis bahwa manusia di dunia ini tidak sekedar hidup (to live), tetapi "mengada" atau bereksistensi. Dengan bereksistensi manusia tidak hanya ada "dalam dunia", melainkan juga ada "bersama dengan dunia". Manusia yang bereksistensi, menurut Freire, mampu berkomunikasi dengan dunia objek sehingga memiliki kemampuan kritis. Selanjutnya ia mengatakan bahwa manusia utuh adalah manusia sebagai subjek. Sementara manusia yang hanya beradabtasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah realitas. Adaptasi merupakan kekhasan prilaku binatang. Karena itu, jika ditunjukkan dan diperankan oleh manusia yang terjadi adalah dehumanisasi (Fajar, 2000).


4. Pendidikan Dialogis

Pendidikan dialogis merupakan upaya penolakan Freire terhadap pendidikan ‘gaya bank’ (tradisional), yang telah menjadikan pendidikan sebagai ajang monopoli guru terhadap siswa di sekolah. Dalam hal ini guru dan siswa harus menjadi mitra dialog dalam memecahkan segala persoalan, bukan membuat jarak antara guru dan siswa, karena dengan adanya jarak akan membuat peluang penindasan guru terhadap siswa terbuka lebar. Oleh karena itu, satu-satunya alat paling efektif dalam sebuah pendidikan manusiawi (humanis) adalah adanya hubungan timbal balik permanen yang berbentuk dialog (Freire, 1970).

Dialog, dalam hal ini secara esensial didefinisikan Freire sebagai bahasa/kata yang disusun berdasar refleksi dan aksi. Kata yang diucapkan tanpa tindakan adalah verbalisme, dan tindakan tanpa refleksi merupakan aktivisme. Dialog yang penuh harapan merupakan tindakan revolusioner, sebagai pengetahuan empiris yang bertemu dengan pengetahuan kritis. Melalui dialog dan komunikasi bahasa, siswa dianggap bertanggung jawab dalam proses pembelajaran mereka sendiri, dan lalu menjadi critical co-investigators dalam dialog dengan guru (Freire, 1970).

Lebih jauh, Freire menegaskan bahwa dialog merupakan hal yang esensial bagi proses penyadaran. Ia menggarisbawahi potensi yang luas dari dialog dan dengan bersemangat mempertahankan kekuatan bahasa sebagai alat yang mampu menanamkan dominasi maupun kebebasan. Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan mendorong pada transformasi sosial dan pembebasan. Freire juga tanpa malu memegang nilai-nilai seperti cinta sebagai esensi dialog; “If I do not love the world; if I do not love life; if I do not love people, I cannot enter into dialogue” (jika aku tidak mencintai dunia; jika aku tidak mencintai hidup; jika aku tidak mencintai rakyat, aku tidak dapat terlibat dalam dialog).

Konteks dialog yang teoritis pada dasarnya menghadirkan fakta berupa keadaan nyata secara kritis yang dapat dianalisis. Analisis ini melibatkan pengujian atas abstraksi dengan cara merepresentasikan realitas konkret, terutama dalam mencari pengetahuan yang kontekstual. Sebagai objek pengetahuan, kodifikasi ini menjadi media penjelas dalam menyelidiki subjek pengetahuan, yakni antara guru dan siswa yang dialogis dalam menyelidiki objek. Hal ini terjadi dalam tahap praktis, dan otomatis akan mengikutkan dekodifikasi, dalam hal refleksi kritis atas objek pengetahuan yang menjadi jembatan komunikasi mereka. Tujuan dekodifikasi adalah tercapainya tingkat pengetahuan kritis yang merupakan wacana linguistik yang harus dibaca oleh semua orang yang ingin menafsirkannya.

Gagasan tetang dialog Freire sebenarnya bisa dirunut kembali dari pengalaman Freire di masa muda. Ia membandingkan dua model pendidikan yang ia saksikan. Yang pertama di dalam kota Recife, khsusnya di wilayah mata, di mana anak-anak dididik dengan keras, sering dengan hukuman secara fisik oleh orang tua mereka. Akibatnya mereka tumbuh dalam ketakutan. Sebaliknya di wilayah pantai, anak-anak hidup dengan merdeka, karena mereka jarang dipukul dan hidup bebas dalam iklim laut terbuka. Dalam hal ini relasi antara orang tua dan anak akan dibawa dalam relasi antara guru dan murid-muridnya ketika anak-anak mulai belajar di sekolah. Dan kedua relasi itu tak lebih dari cerminan masyarakat luas dan negara, yang satu antidialog dan yang lain memberi kebebasan dialog (Sudiarja, 2001).


5. Pendidikan Hadap Masalah

Pendidikan kontekstual atau hadap masalah adalah sebuah teori dan model pendidikan yang mengupayakan peserta didik untuk menjadi subyek dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam realitas sosial. Freire menekankan peran berpikir dalam pembuatan kembali dunia. Dari sini fakta sosial bisa diungkapkan melalui pendidikan, dan menurut Freire, harus diupayakan adanya penyatuan (integration) dunia fakta (nyata) ke dalam dunia pendidikan.

Bila selama ini pendidikan memitoskan realitas dunia untuk menutupi realitas yang sebenarnya, maka dalam sistem pendidikan kontekstual (hadap masalah) harusnya menjadikan realitas sosial sebagai demitologi. Pendidikan kontekstual menumbuhkan interaksi manusia dengan dunianya, karena tugas pendidikan kontekstual adalah memproblematisasi realitas sosial menjadi bagian dari manusia sebagai peserta didik. Menurut Freire, ilmu pengetahuan bukan barang yang dimiliki oleh seseorang, tetapi kemampuan atau keterampilan untuk melihat dan mengerti kenyataan melalui bahasa yang tepat. Pendidikan adalah proses di mana kita memberi nama-nama kepada dunia nyata (Freire, 1970). Secara tidak langsung, teori Freire membongkar positivisme ilmu pengetahuan Barat yang mengasumsikan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang positif, tetap dan pasti.

Untuk itu, dalam paedagoginya, Freire membuat tiga skema dalam merumuskan pendidikan kontekstual. Pertama, investigasi, yaitu pengujian dan penemuan kesadaran manusia yang bersifat takhayul, naif, dan kritis. Kedua, tematisasi, yaitu pengujian semesta tematis dengan reduksi; penemuan tema-tema generatif yang baru, yang tersirat dalam tema-tema sebelumnya. Ketiga, problematisasi, penemuan situasi-situasi rumit dan tindakan-tindakan limit yang mengarah pada praktis otentik tindakan kultural permanen untuk pembebasan (Collins, 2002).

Freire berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Bagi Freire, pendidikan harus menggambarkan konsep tentang manusia dan dunianya. Pengenalan itu harus bersifat subjektif sekaligus objektif untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas. Realitas itu bukan hanya data-data objektif, tetapi fakta konkret yang terjadi di mana-mana terutama di dunia ketiga. Di sini jelas pemikiran Freire sangat dipengaruhi oleh Marx, terutama dalam pemikirannya mengenai perombakan struktur sosial yang tidak adil melalui pendidikan. Dalam arti di sinilah ia menyebut dirinya sebagai pemikir radikal. Akan tetapi sangat berbeda dari Marxisme dan penganut Sosialisme pada umumnya yang memandang struktur sosial secara antagonis dalam pertentangan kelas atas dan kelas bawah, Freire tidak mengajarkan pertentangan kelas dan revolusi dalam pendidikannya, melainkan dialog.

Freire sendiri menyadari bahwa gerakan-gerakan pembebasan sering bersifat reaksioner dalam mendekati persoalan, lebih-lebih kalau sudah mengkonsepkan sendiri situasi penindasan yang ada. Mereka merasa membela rakyat tertindas dengan mengadakan pertentangan melawan penguasa, tetapi tanpa didasari dengan penyadaran akan situasi sosial yang sesungguhnya secara bersama. Mereka berjuang dan membela ketertindasan masyarakat dengan mengandalkan diri pada ideologi dan doktrin-doktrin saja, tanpa pendidikan dan penyadaran sosial (konsientasi). Dengan demikian, berarti mereka melupakan unsur penting pendidikan sebagai proses pembebasan, baik bagi yang terndas maupun yang menindas (Sudiarja, 2001).


6. Catatan Kritis

Tetapi dari semua ini, tampaknya satu keunggulan Freire adalah kemampuannya berdiri di antara teori dan praktek. Di satu pihak, Freire tidak jatuh dalam ekstrim pengembangan semacam filsafat pendidikan yang kering, dan di pihak lain, kendati kegiatannya yang bersifat pragmatis, dengan perjalanan dan kunjungan ke berbagai daerah, ia tidak jatuh pada aktivisme atau menjadi penggerak politik. Keadaan seperti itulah yang seringkali membuat orang kesulitan untuk menggolongkan Freire dalam suatu kedudukan yang jelas. Freire seperti memenuhi kedua kriteria tersebut, kritikus dan praktikus, atau sama sekali bukan keduanya.

Namun melihat kecurigaan Freire terhadap pendidikan yang berpotensi untuk dijadikan sebagai alat domestifikasi penguasa kepada rakyat, jelas Freire adalah pemikir pendidikan Kritis. Beberapa pandangannya mengindikasikan bahwa dalam beberapa hal Freire sangat dipengaruhi Karl Marx dan kelompok yang disebut new-left. Freire ia menggagas konsep pendidikan pembebasan; ketika melihat pendidikan menindas rakyat, ia mengajukan konsep pendidikan kaum tertindas; ketika pendidikan tidak lagi bisa memupuk potensi kesadaran-kritis manusia, ia menawarkan konsep pendidikan penyadaran; ketika pendidikan bersifat monologis dan menghegemoni peserta didik, ia memberikan alternatif konsep pendidikan dialogis; dan ketika pendidikan hanya bersifat teoritis dan kurang berpijak pada realitas sosial, ia menjanjikan konsep pendidikan kontekstual.

Tidak bisa dipungkira, banyak hal positif yang dapat dipetik dari teori pendidikan kritis Freire. Salah satunya adalah pandangan dia mengenai pendidikan dialogis. Seharusnyalah pengjar rendah hati dan mengasihi peserta didiknya supaya terbuka terhadap berbagai kritik dari peserta didik. Sebaliknya, peserta didik seharusnya senantiasa kritis dan mempertanyakan kembali tentang hal yang belum diduga oleh pengajar. Kelebihannya juga adalah konsepnya tentang penyadaran (konsentisasi). Konsep kesadaran Freire ini sekaligus merupakan kritik terhadap gerakan-gerakan pembebasan yang dianggap sering bersifat reaksioner dalam mendekati persoalan tanpa didasari oleh penyadaran sosial.

Namun, tanpa menutupi kekaguman terhadap konsep pendidikan Freire, terdapat juga poin-poin yang memberatkan dari konsep pendidikan Freire. Salah satunya adalah dikotomi ekstrim antara subjek dan objek. Menurut saya, perbedaan antara peserta didik sebagai subjek atau objek seharusnya bersifat dialektis. Sebab harus diakui ada beberapa hal dalam pendidikan yang tidak mungkin diaplikasikan menurut sudut pandang peserta didik sebagai subjek yang bebas penuh mengembangan dirinya. Contoh sederhana adalah bidang eksakta yang menuntut ketundukan peserta didik kepada pengajar, termasuk juga teori-teori, keterampilan-keterampilan, data-data, dan pendekatan-pendekatan yang telah lama dibangun oleh ahli yang jauh di atas tingkat ilmu pengetahuan. Dengan kata lin peserta didik masih harus banyak membaca dan belajar sebanyak mungkin (menjadi objek) sebelum lebih jauh membangun sebuah kritik (menjadi subjek).

Jalan tengah untuk memecahkan dikotomi ekstrim antara subjek dan objek dikemukakan oleh Imam Barnadib dalam bukunya Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan (1996). Menurut Barnadib, Dalam proses pendidikan, peserta didik seharusnya dipandang sebagai subjek dan objek sekaligus. Anak sebagai subjek karena ia sebagai makhluk pribadi, bebas, yang dalam beberapa hal mampu menentukan pilihannya sendiri. Peserta didik tidak dikatakan sebagai objek karena ia menjadi sasaran pendidikan terutama dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang. Ciri dari pertumbuhan dan perkembangannya menjadi perhatian pendidikan untuk dipengaruhi dan diarahkan. Hal ini karena pendidikan mempunyai sifat normatif. Pendidikan menghendaki tingkah laku tertentu dalam pergaulan bukanlah tingkah laku yang dikehndaki anak tersebut, tetapi juga yang dapat diterima dalam kaitannya dengan norma tertentu.


PENUTUP

Makna penting yang dapat dipetik dari konsep pendidikan Paulo Freire adalah bahwa tidak boleh ada dikotomi di antara tujuan pendidikan dan cara pendidikan. Tujuan (transformasi yang membebaskan setiap orang agar menjadi manusia sejati), seharusnya terwujud dalam bagaimana pendidikan dilaksanakan. Tujuan pembebasan tidak tidak terpisahkan dari jalan yang membebaskan. Selain itu, tetap ada signifikansi dalam teori pendidikan Freire bahwa tugas pendidikan tidak saja memunculkan pengertian tentang dunia, tetapi juga tranformasi dunia. Tranformasi dunia melalui pendidikan harus termasuk tranformasi pendidikan sendiri. Bagaimana di Indonesia?


DAFTAR PUSTAKA

Adeney-Risakotta, Bernhar, 2001, Pendidikan Kritis Yang Membebaskan dalam Basis, Nomor 01-01, Tahun Ke-50, Januari-Februari 2001.

Barnadib, Imam, 1996, Dasar-Dasar Kependidikan Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori Pendidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Collins, Denis, E., S.J., 2002, Paulo Freire; Kehidupan, Karya dan Pemikiran, terjemahan Henry Heyneardhi dan Anastasia P., Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Freire, Paulo, 1970, Cultural Action for Freedom, Harvard Rducational Review and Center for Study of Development and Social Change, Macsachesette.

---------------, 1979, Education for Critical Consiousness, Sheed and Ward, London.

---------------, 1973, Education as the Practice of Freedom in Education for Critical Conciousness, Continium, New York.

---------------, 1968, Pedagogi of the Oppressed, Herder and Herder, New York.

Fajar, Malik, 2000, Pendidikan Sebagai Praksis Humanisasi, dalam Orientasi, No.2 Tahun II.

Mintara, Agustinus, 2001, Sekolah Atau Penjara dalam Basis, Nomor 01-01, Tahun Ke-50, Januari-Februari 2001.

Smith, A., William, 2001, Conscientizacou Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Pen. Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sudiarja, 2001, Pendidikan Paulo Friere; Pendidikan Radikal tapi Dialogal dalam Basis, Nomor 01-01, Tahun Ke-50, Januari-Februari 2001.

Titus, Harold, H., Smith, Nolan Richard T., 1979, Living Issues Philosophy, D. Van Nostrand Company, New York

Senin, 25 Mei 2009

PENGARUH AJARAN RUANG DAN WAKTU NEWTON TERHADAP COSMIC WORLD VIEW

PENDAHULUAN

Ketakjuban sudah pasti timbul ketika orang mencoba mereflesikan alam di sekitarnya betapa hamparan ruang itu maha luas, begitu juga dengan evolusi alam raya. Bahkan evolusi tata surya saja sudah menunjukkan betapa lamanya waktu itu berjalan. Padahal, sebagaimana kita tahu, masih beribu-ribu tata surya lain yang sejenis yang menempati sudut-sudut ruang yang disebut alam raya ini. Dan tentunya beribu-ribu tata surya dan galaksi itu terbentang di antara celah-celah raung dan waktu. Dengan demikian, ruang dan waktu merupakan pengertian-pengertian yang tidak dapat ditinggalkan dalam memahami alam fisik.

Sebegitu mengusiknya keajaiban ruang dan waktu ini sehingga hampir semua filsuf yang berfikir tentang alam dan perkembangan secara otomatis membawa serta sang filsuf untuk merenungkan juga tentang ruang dan waktu. Mulai dari Parmenides (515-450) hingga yang paling mutakhir Einstein (1889-1955) dan para sarjana ilmu alam, perdebatan tentang ruang dan waktu belum juga tuntas. Dalam perjalananya teori mengenai ruang dan waktu senantiasa berkembang, bahkan sampai saat ini masih ada bagian-bagiannya yang menjadi mesteri dan tak terpecahkan.

Perbedaan sifat dasar ilmu sebagai suatu cosmic world view –suatu kisah yang digunakan untuk memahami dan mengevaluasi yang lain– akan sangat menentukan perbedaan pandangan masing-masing filsuf dan ilmuwan. Demikian, karena kisah membentuk suatu sikap kultur, mengintegrasikan pengetahuan, mendikte metodologi, dan mengarahkan pendidikannya (Augros & Stanciu, 1985: ix). Kita mengenal ada tiga kategori besar cosmic world view; mechanism, teleologi, dan agnostisism yang masing-masing mempunyai pengaruh berbeda dalam melihat alam.

Salah satu yang sangat menarik dalam kaitannya dengan ajaran ruang dan waktu adalah priode setelah abad pertengahan, abad ke-16 dan ke-17, yang menganggap alam ini laksana sebuah mesin, dan mesin alam ini kemudian menjadi metafora yang dominan pada zaman modern (Capra, 1997: 52). Tulisan ini akan membahas dengan singkat isu filosofis yang cukup kuno namun tetap kontroversial, yakni problem ruang dan waktu menurut Newton.

Newton adalah sosok yang, mau tidak mau harus, harus dilibatkan ketika berbicara tentang konsep alam semesta. Terlepas dari kekurangannya, ajaran Newton telah mengambil peranan vital sebagai landasan bagi sains untuk take off menuju sains paradigma baru. Bahkan Einstein sendiri, sosok yang dianggap mewakili sains modern, ketika ditanya mengenai sukses besar teori relativitasnya mengatakan bahwa apa yang ia lakukan tidak lebih hanyalah batu bata terakhir dari bata-bata lain yang telah diletakkan oleh ilmuan atau filsuf lain sebelumnya.

Berdasarkan ini, keberadaan sains paradigma baru tidak bisa dilepaskan dari sains kisah lama (the old story of science). Suatu narasi besar sains adalah kesinambungan dari apa yang ada sebelumnya. Perbedaan paradigma sains haruslah dipahami sebagai kesatuan yang tak terpisah, paling tidak merupakan reaksi terhadap kisah lama yang telah mengalami anomali. Di sinilah urgensi memahami ajaran ruang dan waktu Newton untuk memahami sains kosmos secara komprehensip.


Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan persoalan-persoalan sebagai berikut:

  1. Bagaimana ruang dan waktu (time and space) menurut ajaran Newton?
  2. Bagaimana pengaruh ajaran Newton terhadap pandangan dunia (cosmic world view)?


Tujuan Penelitian

Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pandangan atau ajaran Newton mengenai ruang dan waktu (time and space) serta pengaruhnya bagi kehidupan dan cara pandang manusia terhadap dunia (cosmic world view) pada umunya dan filsafat (kosmologi) pada khususnya.


Keaslian Penelitian

Sampai sejauh ini kajian yang secara spesifik mengkaji ajaran-ajaran Newton, khususnya mengenai ajaran ruang dan waktu, belum ditemukan. Pembahasan tentang Newton yang dominan selama ini hanyalah pada gerak besar pemikiran dan temuan-temuan ilmiahnya saja seperti teori gravitasi, teori hukum gerak, perhitungan kalkulus, dan optik. Sementara prinsip-prinsip filosofis yang mendasari penemuan besarnya sulit ditemukan.

Satu-satunya penelitian yang ada sementara ini adalah skripsi karya Sri Tofani 1998 di bawah bimbingan Drs. Ali Mudhofir, M. Hum dengan judul "Prinsip Kausalitas Isaac Newton" (Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Filsafat Modern). Dalam penelitian ini Sri Tofani mencoba melihat seberapa besar peranan prinsip kausalitas dalam pandangan dan hukum-hukum yang ditemukan Newton serta sumbangannya pada perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Di samping itu sebuah buku yang berjudul Riwayat Sang Kala: Dari Dentuman Besar Hingga lubang Hitam karya Stephen Hawking yang diterjemahkan dari A Brief History of Time. Buku ini memang sebagian membahas tentang ruang dan waktu termasuk di dalamnya ajaran Newton tetapi lebih pada hukum-hukum gerakannya. Apalagi penjelasan mengenai ajaran ruang dan waktu Newton dalam buku ini hanya sebagai batu loncatan untuk sampai pada penjelasan ajaran yang lebih baru, yaitu teiori relativitas Einstein, dan tidak masuk pada prinsip-prinsip ajaran Newton sendiri. Pembahasan selanjutnya lebih ditekankan pada persoalan atau isu-isu sains kisah baru, termasuk di dalamnya pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan dan sebagainya.

Sementara dalam penelitian ini saya mencoba mengkaji secara spesifik prinsip-pinsip ajaran Newton mengenai ruang dan waktu dan implikasinya terhadap pandangan uman manusia terhadap dunia (cosmic world view). Penelitian ini saya anggap penting karena, meskipun dianggap kuno, tidak bisa dipungkiri ajaran Newton mengenai ruang dan waktu masih relevan serta mempunyai pengaruh yang besar terhadap pandangan dunia. Dari sudut ini keaslian penelitian ini bisa dipertanggung jawabkan sepenuhnya.


PEMBAHASAN

Tentang Isaac Newton

Secara keseluruhan kepribadian Sir Isaac Newton (1642-1727) tidak menyenangkan. Pergaulannya dengan teman-teman akademisnya bisa dikatakan buruk. Sebagian besar masa menjelang akhir hayatnya diisi dengan perdebatan yang seru. Menyusul terbitnya Principia Mathematica, Newton menanjak sebagai seorang tokoh terkemuka. Buku itu merupakan buku paling berpengaruh dalam bidang fisika. Ia diangkat menjadi ketua Royal Society dan merupakan ilmuwan yang diningratkan.

Newton pun pernah bersengketa dengan astronom kerajaan, John Flamsteed, yang sebelumnya memberinya data yang sangat diperlukan untuk buku Principia. Sejak itu Flamsteed menyetop informasi yang diperlukan Newton. Tetapi Newton tidak mau mundur. Ia berusaha agar dirinya diangkat dalam dewan pimpinan Observatorium Kerajaan dan kemudian mencoba memaksa agar data itu segera diterbitkan. Akhirnya ia mengatur agar karya Flamsteed dapat disita dan disiapkan untuk diterbitkan oleh musuh bebuyutan Flamsteed, Edmond Halley.

Sengketa yang lebih serius terjadi dengan filsuf Jerman, Gottfied Leibniz. Baik Leibniz maupun Newton secara terpisah mengembangkan cabang matematika yang disebut kalkulus. Cabang ini kemudian mendasari kebanyakan fisika modern. Meskipun sekarang ini kita tahu bahwa Newton telah menemukan kalkulus bertahun-tahun sebelum Leibniz. Sempat terjadi debat besar antara dua kubu, mengenai siapa yang lebih dahulu menemukan kalkulus.

Selama priode kedua sengketa itu, Newton telah meninggalkan Cambridge dan dunia akademis. Ia mulai aktif dalam politik anti Katolik di Cambridge dan kemudian dalam parlemen. Akhirnya ia memperoleh kedudukan basah sebagai pengawas pabrik uang kerajaan. Di sini ia memanfaatkan bakat serta sarkasmenya dalam cara yang lebih dapat diterima dalam pergaulan. Misalnya ia sukses dalam kempanye anti pemalsuan uang, dan bahkan berhasil mengusahakan beberapa orang dihukum gantung (Hawking, 1994: 193-194).


Ruang Absolut dan Waktu Absolut

Suatu revolusi akan menjatuhkan regim lama dan akan memulai suatu tatanan baru (new order). Oleh karena itu, untuk memahami semua revolusi yang pertama diperlukan adalah memahami "regim lama". Dalam fisika modern regim lama adalah sistem Newtonian. Substansi sistem ini bisa dilihat dalam cara menjawab tiga pertanyaan berikut: Apakah unsur-unsur alam fisik ini?, apa itu perubahan?, dan bagaimana perubahan itu terjadi?

Mengenai pertanyaan yang pertama. Newton (1952: 400 dan 1934: 399) mengatakan ada tiga realitas : materi, ruang, dan waktu. Materi, menurut Newton, terdiri dari massa, padat, tidak dapat ditembus, partikel yang dapat dipindahkan, (variasi) ukuran dan jumlah. Newton mendaftar sifat dari materi sebagai perluasan, bersifat keras, bersifat tidak dapat ditembus, dan keluasan. Dasar dan sifat partikel ini, atom-atom, akan tetap selamanya. Atom dianggap sebagai partikel yang terakhir.

Baik ruang maupun waktu, menurut Newton, dipahami sebagai sesuatu yang absolut, karena itu ruang dan waktu akan terus ada sekalipun semua materi di alam ini telah musnah. Newton menggambarkan ruang dalam termenologi ini sebagai ruang yang absolut (absolute space), dengan sendirinya, tanpa terkait dengan apapun yang ada di luar, senantiasa serupa dan tak dapat digerakkan. Ia menambahkan, absolut, benar, dan waktu matematik, dengan sendirinya, dan dari sifatnya sendiri, mengalir dengan sama tanpa terkait dengan apapun yang ada di luar. Ruang dan waktu diasumsikan sebagai sesuatu yang tak terbatas, universal, dan tidak dapat berubah. Keduanya harus diandaikan ada mendahului manusia untuk bisa menjelaskan gejala di sekitarnya. Ruang ibarat wadah raksasa berdimensi tiga tempat segala sesuatu bergerak di bawah kerja hukum-hukum deterministik, antara lain hukum gravitasi.

"Absolute space, in its own nature, without relation to anything external, remains always similar and immovable. Absolute, true, and mathematical time, of itself, and from its own nature, flows equally without relation to anything external" (Newton, 1934: 6).

Jadi, pengertian ruang yang dianut Newton adalah ruang yang tidak berhingga luasnya, karena itu tidak mungkin orang dapat menentukan batas terakhir ruang tersebut. Ditinjau dari suatu titik manapun dalam ruang, maka akan terbukti senantiasa ada ruang di balik ruang. Implikasinya adalah bahwa ruang tidak memiliki awal, tengah, dan akhir (abadi). Dengan demikian titik yang manapun dalam ruang dipandang sebagai titik acuan atau titik tengah. Sifat tidak terhingga dari ruang objektif ini menyebabkan orang tidak mungkin mengatakan bahwa ruang itu bersuasana (Kattsoff, 2004: 235).

Dengan demikian, mau tidak mau kita harus membedakan antara rotasi partikuler absolut dan rotasi partikuler relatif dalam menjelaskan fenomena dinamik tertentu yang melibatkan ruang dan waktu. Selain itu, kita harus membedakan antara percepatan absolut dan percepatan relatif pada umumnya. Bagi Newton, rotasi dan percepatan absolut memerlukan ruang dan waktu absolut. Ruang adalah tempat yang kosong dan waktu mengalir terus tanpa mempedulikan apapun di luarnya. Yang menempati ruang kosong dalam waktu absolut itu adalah materi. Materi terdiri dair pertikel-pertikel yang berasal dari suatu substansi. Materi ini diasumsikan Newton sebagai balok-balok dasar penyusun benda. Balok-balok dasar ini berbentuk atom yang padat dan memiliki ukuran yang berbeda tetapi semuanya berasal dari bahan yang sama (Heisenberg, 1962: 81).

Sementara perubahan, oleh Newton, hanyalah dimengerti sebagai perpisahan (separations), penggabungan baru (new associations) dan pergerakan-pergerakan, dengan berbagai variasinya dari partikel yang permanen. Dan akhirnya semua terlaksana dalam hukum-hukum fisika yang mengatur pergerakan materi dalam ruang dan waktu yang absolut, demikian pendapat Newton sekaligus menjawab persoalan yang ketiga di atas. Implikasi pernyataan ini adalah, bahwa para ilmuwan tidak lebih hanyalah sekedar penonton yang berada di luar sistem tersebut. Seluruh alam semesta dan materi dapat dimengerti tanpa harus dihantar oleh pikiran (Augros & Stanciu, 1985: 2).

Sistem Newton terbukti berhasil gilang-gemilang, khususnya dalam lapangan ilmu fisika dan kimia. Berkat sistem Newton tersebut ilmuwan-ilmuwan seperti Faraday, Kelvin, Herschel, dan masih banyak ilmuwan lainnya lagi, mampu menemukan berbagai penemuan dalam bidang listrik, panas dan cahaya. Sudah barang tentu keberhasilan sistem tersebut memberikan ilham ke bidang-bidang lainnya seperti biologi, psikologi, sejarah, dan ekonomi (Greg Soetomo, 1995: 31).


Ruang Perseptual dan Ruang Objektif

Dari penjelasan sebelumnya jelas bahwa raung itu, bagi Newton, ada berisafat objektif dan merupakan sejenis wadah yang di dalamnya terjadi kejadian-kejadian. Di dalam wadah itu pula terdapat berbagai jenis objek. Bahkan ruang tetap ada meskipun di dalamnya tidak terdapat kejadian atau objek apapun. Dan kiranya tidaklah mungkin memahami objek-objek yang tidak terdapat di dalam ruang, atau memahami kejadian-kejadian yang tidak terjadi dalam ruang tertentu.

Di samping itu pula, ruang bersifat netral terhadap apa saja yang menempatinya atau yang terjadi di dalamnya, meskipun dapat dikatakan bahwa ruang merupakan kerangka yang di dalamnya dapat ditempatkan kejadian atau objek tertentu. Contoh dalam hal ini misalnya suatu benda di luar angkasa tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap hakekat ruang di mana ia berada, karena benda tersebut bisa saja bergerak dari bagian ruang yang satu ke bagian lainnya, atau dari suatu tempat ke tempat lainnya tanpa perubahan apapun mengenai ciri-cirinya sendiri atau tanpa mengubah ciri-ciri khas ruang angkasa (Kattsoff, 2004: 233).

Di samping waktu absolut juga ada waktu relatif (nisbi), yang dapat diindera yang menyangkut durasi dengan menggunakan gerakan. Semua gerakan dalam konteks ini dapat dipercepat atau diperlambat, tetapi kemajuan yang sebenarnya atau yang tetap dari waktu tidak terkena oleh perubahan apapun. Durasi atau ketetapan beradanya barang-barang tetap sama, tanpa memperhatikan apakah gerakannya cepat atau lambat, atau tidak ada gerakan sama sekali. Berkenaan dengan ini perlu dibedakan apa yang sesungguhnya hanya merupakan alat pengukur yang dapat dipersepsi dari waktu tersebut (Newton,1948: 7).

Berikutnya Newton sampai pada satu tesis bahwa di manapun ruang itu sama saja. Kita masing-masing mungkin berbeda dalam hal mencerap (mempersepsi) ruang, karena hasil cerapan atas kejadian-kejadian yang terdapat dalam ruang senantiasa berhubungan dengan raga kita masing-masing. Karena itu, pengertian ruang hasil cerapan dengan ruang objektif itu berbeda (Kattsoff, 2004: 234). Atau dalam istilah Prof. Dr. T Yacob disebut waktu internal dan waktu eksternal.

Masing-masing orang mencerap atau mempersepsi hubungan yang menyangkut ruang secara berbeda-berbeda, karena sudut pandangnya juga berbeda-beda. Namun ruang yang dicerap dari berbagai sudut pandang itu sesungguhnya satu dan sama karena ruang dan waktu yang sesungguhnya bersifat absolut tidak berubah karena sentimen eksternal. Dunia kita tempat kita hidup pada dasarnya sama bagi setiap orang dan mempunyai susunan ruang tersendiri.


Ruang Matematik

Penting kiranya menyadari bahwa ada perbedaan yang sungguh-sungguh antara ruang hasil cerapan dengan ruang objektif, dan selanjutnya juga antara kedua macam ruang tersebut dengan ruang matematik. Mestinya tidaklah sulit bagi kita untuk memahami bahwa ruang yang kita cerap perlu dibedakan dengan ruang sebagaimana adanya.

Ruang matematik, dalam pandangan Newton, berkaitan dengan titik-titik dan garis-garis, dan definisi mengenai ruang tersebut sedemikian rupa keadaanya sehingga tidak mungkin ada acuannya di alam objektif. Kita bukan hanya tidak pernah melihat suatu garis, bahkan di alam fisik garis itu tidak terdapat. Apa yang kita lihat jika kita menarik suatu 'garis' sesungguhnya merupakan benda padat. Benda ini mempunyai tiga matra dan bukan dua. Selain itu, yang dinamakan garis itu demikian rupa keadaanya, sehingga setiap bagiannya benar-benar sesuai dengan bagian-bagian lainnya yang manapun. Dalam dunia kita yang berisi objek-objek secara tidak teratur, hal yang demikian itu tidak mungkin ada.

Seorang ahli matematika menyelidiki satuan-satuan yang hanya ada dalam pikiran dan tidak pernah mempermasalahkan hakekat ruang objektif. Sesungguhnya ruang matematik merupakan hasil ciptaan ahli matematika, sedangkan ruang objektif sebagai ruang yang terdapat di suatu tempat tertentu, dan ruang hasil cerapan merupakan ruang yang kita cerap. Seorang ahli matematika dapat menciptakan ruang yang berhingga atau yang tidak berhingga. Ruang objektif dapat berhingga atau tidak berhingga. Sementara ruang hasil cerapan tampaknya pasti berhingga, karena ruang semacam ini dibatasi oleh daya jangkau cerapan kita (Kattsoff, 2004: 234-235).

Begitu juga waktu yang mutlak dan bersifat matematis, dari dirinya sendiri dan berdasarkan atas hakekatnya sendiri, mengalir secara tetap tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang terdapat di luar dirinya, dan dengan istilah lain disebut durasi (duration). Sedangkan waktu relatif, yang semu, dan yang biasa merupakan semacam ukuran yang dapat diindera serta berasal dari luar dirinya yang menyangkut durasi dengan menggunakan gerakan, yang biasanya digunakan untuk menggantikan waktu yang sebenarnya (Newton, 1948: 6).

Semua gerakan dapat dipercepat atau diperlambat, tetapi kemajuan yang sebenarnya atau yang tetap dari waktu tidak terkena oleh perubahan apapun. Lama berlaku (durasi) atau ketetapan beradanya barang-barang tetap sama, tanpa memperhatikan apakah gerakannya cepat atau lambat, atau tidak ada gerakan sama sekal. Berkenaan dengan ini perlu dibedakan dari apa yang sesungguhnya hanya merupakan alat pengukur yang dapat diindera dari waktu tersebut.

Waktu dalam pengertian realitas matematis yang bersifat absolut, sebegaimana dijelaskan sebelumnya, tanpa tergantung dari relasi dengan suatu hal lain. Waktu sedemikian itu adalah penampung bagi gerak absolut pada substansi-substansi kosmis. Waktu itu tanpa awal dan tanpa akhir, dan berlandaskan langsung pada ketakterbatasan dan keabadian Tuhan (Bakker, 1995: 114).


Ajaran Newton dan Cosmic World View

Pasca Newton, pandangan mengenai ruang dan waktu benar-benar telah berubah. Dalam pengantar Principia, Newton mengatakan bahwa para kosmolog kuno telah membedakan antara geometri dengan mekanika. Dan Newton berusaha memadukan keduanya. Newton juga mengatakan, prinsip matematik tentang filsafat alam termuat dalam Principia. Seluruh kesulitan filsafati tampaknya telah termuat dalam karya ini dari fenomena gerak sampai ke penyelidikan gaya-gaya yang bekerja pada kosmos dan kemudian gaya-gaya tersebut digunakan untuk mendemonstrasikan fenomena-fenomena lain.

Dengan penemuan Newton ini, sifat dasar ilmu abad pertengahan yang didasarkan atas penalaran dan keimanan yang bertujuan memahami makna dan signifikansi segala sesuatu berubah secara fundamental. Sejak abad ke-16 dan ke-17 pengertian alam sebagai sesuatu yang bersifat organik, hidup, dan bersifat spiritual digantikan oleh pengertian bahwa dunia ini laksana sebuah mesin, dan mesin dunia itu kemudian menjadi metafora yang dominan pada zaman modern (Capra, 1997: 52), bahkan hingga sekarang banyak dari ilmuwan yang diam-diam memiliki keyakinan semacam ini.

Tidak sedikit orang yang mengkritik keyakinan Newton ini. Khususnya Uskup Berkeley, seorang filsuf yang meyakini bahwa semua objek kebendaan, ruang dan waktu itu hanyalah khayalan belaka (Hawking, 1994: 21). Namun begitu fisika mekanistik dan makroskopik (termasuk bidang kimia) mengalami kesuksesan besar. Konsekuensinya adalah bahwa di samping materi tidak ada apapun, juga kegiatan berpikir, keinginan dan emosi.

Dalam sejarah, sains ini dikenal dengan sebutan The Old Story of Science yang ditandai dengan perkembangan dalam fisika dan kosmologi yang semakin materialistik. Russel adalah di antarna sekian pembela sains kisah lama. Ia berpendapat bahwa manusia itu tidak ubahnya merupakan produk dari penyebab yang terus berproses dan tidak akan berakhir. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul manusia, pertumbuhannya, rasa cinta, harapan dan segala kecemasannya tidak lebih dari himpunan atom-atom (Augros & Stanciu, 1985: 16). Tujuan dalam hidup, keberadaan Allah, hidup yang sarat dengan keindahan, hal-hal yang bersifat rohani, serta martabat manusia kemudian menjadi tanda tanya.

Dalam perspektif kisah lama yang terutama adalah bahwa pikiran itu sendiri berasal dari materi. Pandangan ini setidaknya memberikan dua implikasi: pertama, pikiran manusia tidak dapat membuat pilihan bebas mengingat gerakan materi yang ada di dalamnya berada dalam kontrol mekanis. Perubahan-perubahan materilah yang menghasilkan pemikiran-pemikiran, tidak lebih dari itu.

Kedua, dengan bertitik-tolak dari konsep pikiran kisah lama tersebut, maka tidak ada dalam diri manusia yang dapat hidup dari sesuatu yang sudah mati. Jika kegiatan berpikir dan berkehendak merupakan kegiatan dari otak manusia, itu berarti bahwa setelah otak tersebut rusak tertutuplah kemungkinan untuk terjadinya kegiatan tersebut. Jika setiap bagian dari manusia adalah materi, maka setiap bagian dari manusia adalah sesuatu yang mati. Dan dalam kisah lama yang abadi semata hanyalah materi.

Namun, dengan demikian, bukan berarti kita begitu saja mengatakan bahwa Newton adalah seorang Materialis, ia hanya menggunakan materialisme sebagai metodologinya. Tidak sedikit dari ilmuwan yang kemudian menyingkirkan semua keyakinannya untuk dapat mengembangkan argumen ilmiahnya dan berasumsi bahwa materi merupakan satu-satunya yang nyata ada, atau setidak-tidaknya segala hal yang dapat kita kenal secara ilmiah adalah materi. Dalam konteks ini, maka materialisme menjadi salah satu dari metode ilmiah yang mengambil peranan sangat penting dalam abad ke sembilan belas. Dan karena itu tidak dapat dengan senderhana dikatakan bahwa mereka tidak bertuhan (ateis).

Mengenai hal ini para ilmuan kisah lama berbeda pendapat satu sama lain. Newton sendiri ternyata memandang adanya Tuhan yang berperanan dalam menggerakkan planet-planet dan sistem tata surya. Sementara yang lainnya lebih menganut agnostik, seperti Carl F. Gauss. Tetapi tidak jarang yang beranggapan bahwa sains tidak mengizinkan hidupnya agnostisisme karena alam semesta ini bergerak dengan sendirinya seperti mesin (Soetomo, 1995: 20).

Dari sini sebenarnya tidak relevan menggeneralisir ilmuan kisah lama sebagai ateis, karena ternyata masing-masing tokohnya mempunyai keyakinan berbeda mengenai kekuatan supernatural. Namun, walaupun begitu, pandangan sains kisah lama dapat disimpulkan bersifat materialistik dan deterministik yang berpegaruh besar terhadap cosmic world view.


Catatan Akhir

Kejeniusan Newton terletak dalam kemampuannya menciptakan sintesis karya-karya Descartes, Galileo dan Kepler, dan menghadirkan sebuah gambaran dunia yang ia rasakan (sebagai orang yang beragama) sebagai konfirmasi terhadap sebuah tatanan spiritual di Alam Semesta. Sebenarnya, latar belakang pemikiran Newton, yang terkait dengan tokoh-tokoh seperti Isaac Burrows dan kalangan Platonis Cambridge, sangat tidak bisa dipisahkan dari kepentingan terhadap makna metafisik tentang ruang, waktu, dan gerak. Namun, pandangan dunia Newtonian juga telah menyebabkan konsepsi Alam Semesta yang bersifat mekanistis dan betul-betul terpisah dari interpretasi benda yang organik dan holistik. Akibatnya, setelah abad ketujuh belas, sains dan agama betul-betul terpisah (Nasr, 2003: 85).

Newton adalah salah seorang yang pertama kali menyadari pengaruh buruk penemuannya bagi teologi. Kita tidak boleh melupkan betapa banyak usaha yang telah ia lakukan dan betapa banyak halaman yang ia tulis tentang sains alkimia dan kabbalistik di masanya. Munkin, baginya, fisika yang baru, dengan keberhasilannya di tingkat matematika-fisik, hanyalah sebuah sains tentang benda material. Namun, bagi para pengikutnya, fisika baru ini telah menjadi sebuah sains, satu-satunya pengetahuan yang sah tentang dunia objektif.


DAFTAR PUSTAKA

Augros, Robert M. & Stanciu, George N., 1985, The New Story of Science; Mind and the Universe, Preface by Sir John Eccles, Gateway, Chicago.

Bakker, Anton, 1995, Kosmologi dan Ekologi, Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah Tangga Manusia, Kanisius, Yogyakarta.

Capra, Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban, Alih bahasa. M. Thoyibi, Bentang, Yogyakarta.

Hawking, Stephen, 1994, Riwayat Sang Kala, Dari Dentuman Besar Hingga Lubang Hitam, alih bahasa A. Hadyana Pudjaatmaka, Grafiti, Jakarta.

Heisenberg, 1962, Werner, Physics and Philosophy, Harper dan Row, New York.

Kattsoff, Lois O., 2004, Pengantar Filsafat, alih bahasa oleh Soejono Soemargono, cet ix, Tiara Wacana, Yogyakarta.

Newton, Isaac, 1934, Principia, Trans. Florian Cajori, University of California Press, Berkeley dan Los Angeles

----------, Isaac, 1948, Mathematical Principles of Natural Philosophy, Trans. By F. Gajori, University of California Press, Berkeley.

----------, Isaac, 1952, Opticks, Dover, New York.

Nasr, Sayyed Hossein, 2003, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Terj. Ali Noer Zaman, Irchisod, Yogyakarta.

Soetomo, Greg, 1995, Sains dan Problem Ketuhanan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.